Oleh Sasan Karimi, dosen di Fakultas Studi Dunia Universitas Tehran dan Direktur Program Politik Internasional di Nuclear Watch Network
Fase hubungan saat ini antara Republik Islam Iran dan Amerika Serikat menandai sebuah konvergensi yang penting: kembalinya kecenderungan moderat berkuasa di Iran bertepatan dengan kepemimpinan Donald Trump di AS, yang merepresentasikan faksi revitalisasi dalam Partai Republik.
Namun, isu nuklir, yang sempat dianggap sebagai satu-satunya titik sengketa yang terselesaikan antara kedua negara, kembali muncul sebagai tantangan utama sejak penarikan sepihak Trump dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018. Meskipun menjadi dalih yang tersedia untuk friksi politik, masalah ini pada dasarnya tidak mengkhawatirkan mengingat sejarah dua dekade terakhir; tetap saja, ia menjadi poros ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat.
Titik awal penting dalam menganalisis tantangan hubungan Iran-AS terletak pada penilaian posisi dan kepentingan para pemangku kepentingan utama.
Negara-negara Arab di kawasan ini telah mengambil sikap yang jauh lebih lunak dan bersahabat terhadap Iran dibandingkan periode negosiasi JCPOA, penandatanganannya, dan penarikan AS berikutnya. Hubungan Iran dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain – yang sebelumnya tegang karena alasan yang tidak sepenuhnya jelas – kini berkembang menuju kehati-hatian yang bersahabat, jika tidak dikatakan hangat. Mengingat kedekatan geografis negara-negara ini dengan Iran, hubungan mendalam mereka dengan AS, Eropa, China, dan Rusia, serta pengaruh kolektif mereka, pergeseran ini membawa implikasi signifikan bagi kebijakan kekuatan besar terkait program nuklir Iran.
Sebaliknya, Zionis Israel secara konsisten menganggap setiap perbaikan hubungan Iran dengan Barat, terutama AS, sebagai garis merah strategis. Sepanjang negosiasi JCPOA, pelaksanaannya di bawah pemerintahan Obama, dan masa jabatan pertama Trump, Zionis Israel mengerahkan upaya maksimal untuk menggagalkan setiap penyelesaian sengketa yang melibatkan Iran dan AS, Eropa, atau bahkan negara-negara Arab. Bagi Zionis Israel, substansi masalah ini hanyalah sekunder, atau bahkan tidak relevan; yang penting adalah potensinya untuk menjadikan Iran sebagai ancaman keamanan, mengisolasi dan menekannya – tujuan yang dianggap Tel Aviv cukup tercapai selama dinamika ini terus berlangsung.
Uni Eropa, meskipun merupakan serikat besar yang beranggotakan lebih dari 20 negara, dalam kebijakan luar negerinya sebagian besar mengikuti arahan Prancis, Jerman, dan Inggris – dua di antaranya memegang kursi tetap di Dewan Keamanan PBB. Meskipun secara lahiriah mendukung solusi diplomatik, sikap mereka terhadap Iran mengeras dibandingkan dengan periode 2013–2018. Selain itu, kendali eksklusif mereka atas mekanisme penyelesaian sengketa JCPOA – yang dikenal sebagai "snapback" – dikombinasikan dengan perbedaan transatlantik, memberi dimensi identitas yang melintasi Atlantik pada isu ini. Karena itu, meskipun Eropa Barat tidak mungkin mempelopori inisiatif diplomatik besar, mereka tetap mampu menghambat kemajuan, terutama melalui mekanisme snapback, didorong oleh pertimbangan berbasis identitas ini.
Rusia muncul sebagai aktor penting lainnya. Sebagai salah satu mitra paling signifikan bagi Iran, yang mendukung Tehran selama masa sanksi, Rusia memegang peran penting dalam masa depan Iran, termasuk dalam negosiasi dan pasca-negoisasi. Dibandingkan masa negosiasi JCPOA, hubungan Iran-Rusia telah matang, sementara hubungan Moskow dengan Washington memasuki wilayah baru, dipengaruhi oleh perang di Ukraina, keinginan Trump untuk menyelesaikannya, hubungan pribadi antara kedua pemimpin, serta ketegangan yang sebagian besar dipicu oleh sekutu Eropa Washington. Namun, secara historis, Rusia tidak menginginkan eskalasi ketegangan Iran-Barat, tetapi juga tidak diuntungkan dari rekonsiliasi total keduanya. Dualitas ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan Iran harus mendekati Moskow secara strategis, memastikan Rusia melihat manfaat nyata dalam mendukung perbaikan hubungan Iran-Barat – sebuah prospek yang tidak terjamin dan memerlukan perancangan yang cermat.
China, di antara semua aktor dalam isu nuklir Iran dan sengketa yang lebih luas dengan Barat, mungkin merupakan pihak yang paling jauh namun paling konsisten dalam sikapnya. Beijing mendapat keuntungan dari sanksi terhadap Iran – meskipun tidak langsung – namun juga akan diuntungkan dari pencabutannya, yang akan membuka pasar Iran yang relatif belum tergarap bagi investor dan kontraktor China. Seperti Rusia, China ingin mencegah peningkatan ketegangan Iran-Barat, tetapi tidak serta merta menyambut pemulihan hubungan yang berlebihan, yang dapat memperburuk persaingan di pasar Iran. Untuk meningkatkan peran China dari sekadar dukungan politik menjadi keterlibatan ekonomi dan operasional, Iran harus dengan cermat menyelaraskan setiap kesepakatan prospektif dengan kepentingan Beijing.
Aktor regional, seperti sekutu Iran di Asia Barat – termasuk kelompok-kelompok perlawanan yang bukan sekadar proksi, tetapi gerakan anti-pendudukan yang telah lama berdiri – tidak pernah menentang penyelesaian sengketa Iran dengan Barat. Dengan Poros Perlawanan mengalami kemunduran militer selama setahun terakhir, salah satu dalih utama Barat – terutama Israel – untuk menantang peran regional Iran telah berkurang.
Sebelum memulai negosiasi baru-baru ini, baik Iran maupun AS menggunakan pendekatan "carrot-and-stick," menggabungkan pendekatan diplomatik dengan ancaman terselubung. Namun, berpegang pada kebijakan usang tidak akan menghasilkan solusi inovatif dalam politik global. Para aktor Barat, khususnya, harus menyadari bahwa para pembuat kebijakan Iran, yang telah berpengalaman lebih dari empat dekade mengelola negara di bawah tekanan, mengembangkan pembangunan, dan menghadapi krisis regional serta internasional, tidak mungkin gentar oleh ancaman-ancaman lama. Sebaliknya, taktik seperti itu dapat merusak kredibilitas Barat – dan pemerintahan Trump secara khusus – dalam mengejar resolusi diplomatik yang seimbang.
Rekomendasi Tindakan untuk Negosiasi yang Produktif:
1. AS harus menyatukan sikap internalnya, memastikan tidak ada suara berbeda yang merusak kemajuan yang telah dibangun dengan susah payah.
2. Kedua belah pihak harus meninggalkan postur ancaman tradisional untuk memperkuat posisi tawar, dan menekankan komitmen transparan terhadap solusi damai dan diplomatik.
3. Trump harus membatasi potensi Israel untuk menggagalkan inisiatif yang ia dukung, dengan menggunakan pengaruhnya sebagai pendukung utama Israel.
4. AS harus menyelaraskan sekutunya di Eropa agar pernyataan atau tindakan mereka tidak menghalangi upaya penyelesaian.
5. Iran harus melibatkan Rusia, China, dan Eropa untuk meminimalkan gesekan yang tidak perlu dan mengamankan kerja sama yang bermakna.
6. Negara-negara Arab regional harus dilibatkan untuk meredakan ketegangan dan membangun paradigma "kawasan kuat," menggeser fokus dari "negara kuat."
7. Kapasitas positif Badan Energi Atom Internasional (IAEA) harus dimanfaatkan untuk mengompartmentalisasi isu-isu, mencegah masalah eksternal menggagalkan hasil potensial.
Langkah-langkah ini, jika dijalankan dengan pandangan strategis, dapat membuka jalan menuju penyelesaian berkelanjutan atas kebuntuan yang telah berlangsung puluhan tahun.[IT/r]
*Rusia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Zionis Israel, seperti yang tercantum di situs web Departemen Konsuler Kementerian Luar Negeri Rusia.