0
Friday 9 May 2025 - 03:08
AS - Timur Tengah:

Foreign Policy: AS Tidak Boleh Menyerahkan Teknologi AI ke Negara Teluk

Story Code : 1207568
MBS Saudi Arabia and Donald Trump, US
MBS Saudi Arabia and Donald Trump, US
Dalam sebuah artikel opini di Foreign Policy (FP), Alasdair Phillips-Robins dan Sam Winter-Levy memperingatkan pada hari Rabu (7/5) bahwa Amerika Serikat berada di ambang mengulangi kesalahan strategis bersejarah — kali ini bukan dengan minyak, melainkan dengan kecerdasan buatan (AI).

Keduanya berpendapat bahwa setelah puluhan tahun berupaya mengurangi ketergantungan pada minyak dari Timur Tengah, Washington kini berisiko menjadi tergantung kembali — kali ini pada infrastruktur AI.

Menarik paralel dengan pembelian Alaska dari Rusia tahun 1867, yang dahulu diejek sebagai "Kebodohan Seward" tetapi kemudian terbukti menguntungkan setelah ditemukan cadangan minyak, penulis memperingatkan bahwa mengalihkan daya komputasi AI ke negara Teluk mungkin tampak murah saat ini, tetapi bisa menjadi bencana strategis di masa depan.

Phillips-Robins dan Winter-Levy menyoroti pertimbangan pemerintahan Trump untuk menyetujui ekspor massal chip AI canggih ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Chip-chip ini, yang sebagian besar diproduksi oleh perusahaan AS seperti Nvidia, sangat penting untuk melatih model AI paling mutakhir.

Artikel FP ini menekankan bahwa meskipun ekspor terbatas ke pusat data yang dimiliki oleh perusahaan AS mungkin masih bisa diterima, persetujuan secara luas berisiko menempatkan teknologi kritis AS di bawah pengaruh rezim otokratis yang kepentingan jangka panjangnya tidak selaras dengan Washington.

Ambisi AI Saudi dan Emirat
Penulis menekankan bahwa Arab Saudi dan UEA tengah mengejar supremasi dalam bidang AI secara agresif. Menurut analisis FP, Arab Saudi memandang AI sebagai pengganti kekayaan minyak, sementara UEA telah memberi kewenangan kepada tokoh seperti Sheikh Tahnoon bin Zayed Al Nahyan, yang mengendalikan G42 dan dana kekayaan negara senilai $1,5 triliun, untuk memimpin ambisi AI-nya.

Dalam unggahan di X pada bulan Maret, Al Nahyan menyatakan bahwa "UEA tetap berkomitmen memperkuat hubungan ekonomi dengan AS melalui percepatan investasi di bidang kecerdasan buatan, teknologi canggih, infrastruktur, energi, dan layanan kesehatan — pilar-pilar utama pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan."

G42, sebagaimana diuraikan dalam artikel tersebut, telah menandatangani kesepakatan dengan Microsoft, mendukung proyek Stargate milik OpenAI, dan berusaha membawa fasilitas fabrikasi chip besar ke kawasan. Langkah-langkah ini bukan semata-mata bersifat ekonomi; Phillips-Robins dan Winter-Levy memperingatkan bahwa kapabilitas AI seperti itu juga memperkuat pengawasan, kemampuan siber, dan kekuatan militer di kawasan.

Risiko Keamanan dan Pengaruh China yang Meningkat
Artikel FP ini dengan tegas mempertanyakan keandalan Arab Saudi dan UEA sebagai mitra AI yang aman, dengan mengutip hubungan mereka yang semakin erat dengan China.

G42 milik UEA memang telah menjauhkan diri dari Huawei, namun China tetap menjadi mitra dagang non-migas terbesar UEA. Beijing dan Abu Dhabi bahkan telah melakukan latihan militer bersama, dan sikap diam mereka terhadap pergeseran G42 dari Huawei dinilai sebagai sinyal yang mencurigakan, menurut para penulis.

Sementara itu, kedekatan Arab Saudi yang semakin kuat dengan China dan Rusia menambah kekhawatiran. Phillips-Robins dan Winter-Levy menegaskan bahwa negara-negara ini tidak bisa sepenuhnya diandalkan untuk melindungi kekayaan intelektual AS atau mencegah penyalahgunaannya.

Penulis berpendapat bahwa mengizinkan ekspor chip AI ke Teluk dapat menguras pasokan domestik dan menciptakan preseden berbahaya, dengan menegaskan bahwa “menjual lebih banyak ke perusahaan Teluk hanya akan mengalihkan teknologi itu dari tangan perusahaan AS.” Bahkan jika pusat data di Teluk dijalankan oleh perusahaan AS, mereka menilai hal itu dapat memicu perlombaan memanfaatkan energi murah dan modal asing, yang pada akhirnya melemahkan kepemimpinan AS dalam perlombaan AI global.

Selain itu, artikel FP menekankan bahwa kekhawatiran tentang keterbatasan energi untuk pertumbuhan AI di AS terlalu dibesar-besarkan. Dengan reformasi perizinan, AS bisa memperluas kapasitas pusat data di dalam negeri atau bekerja sama dengan sekutu terpercaya seperti Kanada, Norwegia, atau Australia.

Usulan Kerangka Kerja yang Lebih Hati-Hati
Alih-alih menolak kerja sama sepenuhnya, Phillips-Robins dan Winter-Levy mengusulkan kerangka kerja yang lebih berhati-hati dalam artikel FP mereka. Mereka menyarankan kesepakatan di mana negara Teluk hanya diberi akses ke chip generasi lama untuk proyek AI skala kecil, sementara perusahaan teknologi AS mempertahankan infrastruktur tercanggihnya di dalam negeri.

Sebagai imbalannya, AS harus mensyaratkan negara-negara Teluk untuk menghentikan investasi AI mereka di Tiongkok, mengadopsi kontrol ekspor, dan menjamin transparansi dalam penggunaan teknologi AS. Tanpa perlindungan ini, para penulis memperingatkan, Amerika Serikat akan mengulang kesalahan strategis yang telah berusaha dihindari selama setengah abad terakhir.

Seperti yang disorot oleh artikel Foreign Policy, taruhannya tidak hanya soal ekonomi — ini adalah masalah geopolitik yang dalam. Mempercayakan teknologi AI Amerika kepada pemerintah Teluk berisiko mengorbankan keamanan nasional, dominasi teknologi, dan otonomi strategis jangka panjang.

Phillips-Robins dan Winter-Levy mendesak Washington untuk bertindak bijak, memanfaatkan pengaruh saat ini untuk menyusun kesepakatan yang strategis dan terbatas — demi melindungi kepentingan AS, bukan mengorbankannya demi keuntungan jangka pendek.[IT/r]
Comment