0
Friday 23 May 2025 - 04:24
AS - Timur Tengah:

Di Era Runtuhnya Kekaisaran: Tentang Momen Hilang Bangsa Arab dan Matinya Hati Nurani Global

Story Code : 1210422
The Age of Collapsing Empires
The Age of Collapsing Empires
"Kita hidup di dunia yang diperintah oleh kekuasaan, bukan moralitas."

Amerika Serikat, yang telah lama memposisikan dirinya sebagai "dewa politik di atas manusia," kini mendekati jalan buntu historis. Negara ini mulai goyah dan siap kalah dalam persaingan strategis jangka panjangnya dengan Tiongkok. Ini bukanlah pernyataan emosional, melainkan penilaian serius yang sejalan dengan para intelektual Amerika terkemuka seperti Emmanuel Todd, yang menggambarkan kemunduran Barat tidak hanya sebagai kegagalan ekonomi tetapi juga kegagalan moral dan peradaban. Apakah kita menyaksikan runtuhnya tatanan moral global?

Peradaban Barat Retak: Dari "Globalisasi Cair" hingga Kemunduran Kekaisaran
Apa yang terjadi saat ini tidak dapat dipahami melalui perangkat politik tradisional. Sistem Barat—yang dibangun di atas eksploitasi rakyat dan penaklukan yang lemah dengan kedok "demokrasi" dan "modernitas"—bahkan tidak dapat lagi mempertahankan ilusi legitimasi.

Likuiditas yang dijelaskan oleh Zygmunt Bauman mengatur setiap domain. Kepastian politik telah lenyap. Tidak ada proyek sosial. Bahkan kepura-puraan moralitas global bersama telah runtuh. Apa “Globalisasi” yang ditinggalkannya bukanlah dunia yang terhubung, tetapi kuburan massal yang tersebar di seluruh belahan bumi selatan—dari Gaza hingga Khartoum, dari Sanaa hingga Beirut.

Sementara itu, Tiongkok bangkit—bukan sebagai penyeimbang moral, tetapi sebagai kekaisaran berbasis daratan dengan perangkat yang berbeda dan logika dominasi yang serupa. Dunia tidak hanya bergeser dari tatanan unipolar menjadi multipolar—dunia memasuki era persaingan yang kejam, di mana setiap kekuatan mencari supremasi di atas puing-puing hukum internasional.

Amerika: Kekaisaran yang Telah Kehilangan Kepercayaan pada Dirinya Sendiri
Amerika Serikat bukanlah negara yang sedang mengalami krisis—Amerika Serikat adalah proyek peradaban yang sedang mengalami krisis. Apa yang disebut Thomas Friedman sebagai “Kemunduran Besar Amerika” adalah pengakuan yang lebih lunak atas kenyataan yang jauh lebih keras: kekaisaran yang dipimpin AS telah kehilangan legitimasinya.

Sejak invasi Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, dan baru-baru ini perang proksinya di Ukraina, Washington telah mengumpulkan kekalahan yang disamarkan sebagai diplomasi. Kegagalannya untuk menggalang sekutu Eropa di belakang perang Ukraina, mengekang kebangkitan Tiongkok, atau mengisolasi Rusia menggarisbawahi ketidakberdayaan yang semakin besar dari alat hegemoniknya.

Yang lebih berbahaya, proyek "Timur Tengah Baru"—yang direplikasi dengan berbagai nama—tetap aktif. Apa yang kita saksikan hari ini, dalam hal fragmentasi Arab, hubungan yang dinormalisasi dengan musuh tanpa biaya, dan erosi kohesi sosial, bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah bagian dari restrukturisasi strategis kawasan tersebut untuk mengamankan kepentingan AS, bahkan ketika kehadiran globalnya memudar.

Krisis Zionis: Proyek Rapuh Tanpa Jangkar
Dulu dipromosikan sebagai "satu-satunya demokrasi di Timur Tengah," "Israel" kini terjebak dalam krisis internal terdalamnya. Terlepas dari kecakapan teknologi dan militernya, "Israel" tidak mampu menghasilkan fondasi sosial atau budaya yang dibutuhkan untuk mempertahankan kepemimpinan regional. Saat ini, "Israel" tidak menawarkan proyek moral atau kemanusiaan apa pun. Apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang—ini adalah pembantaian yang disiarkan langsung, disambut dengan keheningan yang memekakkan telinga dari apa yang disebut komunitas internasional. Tidak ada suara signifikan dari Barat yang bersuara—tidak ada pemerintah, tidak ada surat kabar besar, tidak ada universitas, tidak ada organisasi hak asasi manusia. Semua telah memasuki kondisi penolakan kolektif.

Karena proyek Zionis tidak dibangun di atas fondasi "negara" tradisional, melainkan di atas "janji" mistis, keruntuhannya tidak akan bersifat politis tetapi simbolis. Gaza telah menanggalkan fasad moralnya dan mengungkap kerapuhan "Israel"—bukan sebagai entitas militer, tetapi sebagai proyek yang tidak memiliki pembenaran etis apa pun.

Hati Nurani Global yang Mati: Ketika Pembantaian Menjadi Rutinitas
"Kebiadaban kontemporer" mungkin merupakan istilah yang paling tepat untuk kondisi global saat ini. Apa yang kita saksikan bukan sekadar kehancuran tatanan internasional—melainkan kepunahan moral yang total. Dahulu, pembantaian disembunyikan dalam bayang-bayang. Sekarang, pembantaian terjadi di depan mata—dan dunia tetap tidak tergerak.

Apakah Barat mati secara moral? Jawaban yang lebih jujur ​​mungkin adalah bahwa mereka tidak pernah benar-benar hidup. Sebaliknya, mereka telah menguasai seni menutupi kejahatannya dalam bahasa kebebasan. Apa yang terjadi di Gaza, juga apa yang terjadi di Suriah dan Yaman, bukan hanya kegagalan tata kelola global—melainkan runtuhnya gagasan Barat itu sendiri: gagasan yang menjanjikan kebebasan, tetapi menghasilkan kolonialisme; yang mengkhotbahkan demokrasi, tetapi mempraktikkan rasisme; yang mengaku menegakkan perdamaian, tetapi melancarkan perang tanpa henti.

Bangsa Arab: Hadir di Pesta Kehancuran, Namun Absen di Panggung Sejarah
Terjebak di antara Barat yang runtuh dan Timur yang bangkit, dunia Arab telah kehilangan arah. Teluk berperilaku seolah-olah menjadi pusat yang berdiri sendiri. Maghreb berpegang teguh pada identitas Mediterania. Levant menderita disintegrasi negara. Dan Liga Arab telah menjadi lebih dari sekadar arsip data.

Ini adalah momen disorientasi yang mendalam. Tidak ada visi Arab yang bersatu, tidak ada peta jalan strategis, tidak ada identitas bersama. Bahkan konsep "identitas Arab" pun diperdebatkan, digantikan oleh alternatif yang berbahaya—sektarianisme, regionalisme, atau konstruksi "Abrahamik" yang menghapus ingatan dan membersihkan pertumpahan darah.

Dalam kekacauan ini, muncul pertanyaan mendesak: Apakah ada proyek perlawanan Arab? Perlawanan tanpa renaisans adalah sia-sia. Renaisans tanpa kebangkitan intelektual tidak mungkin. Dan kebangkitan tidak dapat dimulai tanpa membebaskan pikiran. Inilah inti permasalahannya. Penolakan saja tidak cukup. Kita harus berproduksi. Kita tidak membutuhkan perlawanan yang sekadar bereaksi—kita membutuhkan perlawanan yang menciptakan. Bukan slogan, tetapi sistem pemikiran. Bukan semangat, tetapi kecerdasan.

Perlawanan Dimulai dari Pikiran: Peran Kaum Intelektual, Bukan Politisi
Ini bukan tugas para jenderal atau presiden. Ini adalah tugas para pemikir. Aksi politik tanpa kerangka intelektual yang mendukung hanya akan menghasilkan tirani atau kekacauan.

Kita harus membangun kembali pikiran orang Arab—bukan dengan mengidolakan masa lalu, tetapi dengan membayangkan masa depan yang layak. Identitas bukanlah sesuatu yang statis—ia adalah tindakan konstruksi yang berkelanjutan. Arabisme tidak boleh bertentangan dengan kebebasan; ia harus mewujudkannya. Yang kita butuhkan adalah Arabisme yang demokratis yang didasarkan pada keadilan, kesetaraan, dan pengakuan bersama. Arabisme ini tidak memusuhi Iran, Turki, atau Kurdi. Ia bercita-cita untuk mengintegrasikan mereka di bawah "lingkungan peradaban" bersama.

Kita bukanlah orang-orang yang penuh kebencian. Kita adalah orang-orang yang suka bermitra. Kita tidak mencari perlindungan. Kita mencari rasa hormat.

Apa yang Harus Dilakukan? Saat Dunia Mati, Mari Kita Bangun Dunia Lain
"Kita berada di titik balik dalam sejarah umat manusia. Kita harus bertindak—atau kita binasa".

Ini adalah kenyataan pahit, tetapi tidak dapat dihindari. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak pidato. Dunia membutuhkan inisiatif. Perlawanan bukan sekadar senapan—tetapi juga buku, ide, sekolah, dan pabrik. Tidak ada keselamatan dalam penantian.

Apakah dunia beralih ke Washington atau Beijing, jawabannya harus dimulai dengan pertanyaan yang sulit: Apa yang harus dilakukan?
Solusinya tidak ditemukan pada para pemimpin, tetapi pada para pemikir. Solusinya tidak ada di luar—tetapi di dalam. Solusinya tidak ada di masa lalu—tetapi di masa depan.

Kita harus merebut kembali pikiran Arab—bukan untuk mendominasi dunia, tetapi untuk melestarikan apa yang tersisa dari kemanusiaan kita.[IT/r]
Comment