Presiden Pezeshkian Tolak Negosiasi dengan AS di Bawah Ancaman: ‘Lakukan Apa Pun yang Kalian Mau’
Story Code : 1195777
President Masoud Pezeshkian of Iran speaks during a meeting of the members of the Iran Entrepreneurs Forum in Tehran
"Kita harus menjaga hubungan dengan dunia. Kita tidak ingin terasing atau bertengkar dengan siapa pun, tetapi itu tidak berarti kita akan tunduk dalam kehinaan di hadapan siapa pun," ujar Pezeshkian dalam pertemuan Forum Pengusaha Iran di Tehran, Selasa (11/3).
"Kita mungkin mati dengan kehormatan, tetapi kita tidak akan pernah hidup dalam kehinaan."
Pezeshkian menolak apa yang ia gambarkan sebagai ultimatum dari Donald Trump, merujuk pada sebuah surat yang dilaporkan telah dikirim oleh Presiden AS kepada Iran.
Surat tersebut menuntut Tehran untuk menghentikan program nuklir dan misilnya serta mengambil langkah-langkah lain sebagai imbalan atas pencabutan sanksi.
"Tidak dapat diterima jika ada seseorang yang datang dan berkata, ‘Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu, atau kalau tidak...’ Saya tidak akan datang untuk bernegosiasi dengan kalian. Lakukan apa pun yang kalian mau," kata Pezeshkian.
Ia juga mengkritik Trump karena tidak menghormati Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sambil tetap menekan Kiev untuk menerima kesepakatan dengan Rusia.
Presiden Iran menyebut sikap Trump dalam pertemuan terbarunya dengan Zelensky di Gedung Putih sebagai "benar-benar memalukan."
"Jika negosiasi dilakukan dengan bermartabat, berdasarkan rasa saling menghormati dan kepentingan bersama, maka kami akan duduk dan berbicara," katanya. "Tetapi bahasa ancaman dan paksaan sama sekali tidak dapat diterima."
Pezeshkian juga menegaskan pentingnya memperkuat sektor swasta Iran sebagai cara untuk melawan sanksi Barat.
"Jika kita tidak memberikan sanksi pada diri kita sendiri, maka Amerika atau siapa pun tidak akan bisa dengan mudah memberikan sanksi kepada kita."
Ketegangan Iran-AS Meningkat
Ketegangan antara Iran dan AS meningkat tajam sejak Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir, yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), pada tahun 2018.
JCPOA, yang dicapai pada 2015, mewajibkan Iran untuk menerapkan langkah-langkah membangun kepercayaan guna membatasi aktivitas nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi.
Setelah keluar dari perjanjian, pemerintahan Trump meluncurkan kampanye "tekanan maksimum" yang bertujuan melumpuhkan ekonomi Iran melalui sanksi berat terhadap ekspor minyak, sektor perbankan, dan industri penting lainnya.
Pejabat AS secara terbuka mengakui bahwa kebijakan ini dirancang untuk melemahkan Iran secara ekonomi dan politik.
Namun, kebijakan ini justru memperburuk ketegangan regional serta meretakkan hubungan AS dengan sekutu-sekutu Eropanya, yang tetap berkomitmen pada JCPOA.
Sebagai tanggapan, Iran secara bertahap mengurangi kepatuhannya terhadap perjanjian JCPOA, meskipun tetap menegaskan bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan damai.
Hari berakhirnya JCPOA yang dijadwalkan pada Oktober 2025 semakin memperburuk ketegangan, karena momen ini dapat menjadi titik balik bagi pembatasan internasional terhadap aktivitas nuklir Iran
Iran telah berulang kali menegaskan kesiapannya untuk bernegosiasi mengenai pencabutan sanksi, asalkan dilakukan secara setara dan dengan cara yang tetap menjaga martabat serta kedaulatan nasional.[IT/r]