0
Sunday 16 March 2025 - 04:04
Gejolak Suriah:

Jumlah Korban Tewas dalam Pembantaian di Pesisir Suriah Meningkat Menjadi 1.500+ dan Terus Bertambah

Story Code : 1196583
Burnt cars remain in an open garage following the recent wave of violence along the Syrian coast, Jableh, Syria
Burnt cars remain in an open garage following the recent wave of violence along the Syrian coast, Jableh, Syria
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengumumkan pada hari Sabtu (15/3) bahwa jumlah korban tewas dalam pembantaian di sepanjang pesisir Suriah telah melampaui 1.500 warga sipil sejak 6 Maret.
 
Menurut observatorium tersebut, serangan oleh Pasukan Keamanan Suriah dan unit Kementerian Pertahanan terhadap komunitas Alawit di pesisir Suriah telah menewaskan lebih dari 1.500 warga sipil, banyak di antaranya dibunuh di dalam rumah atau di ladang pertanian mereka di provinsi Latakia, Tartus, Hama, dan Homs.
 
Selain itu, SOHR mendokumentasikan dua pembantaian pada hari Kamis (13/3) di Latakia dan Tartus, yang menewaskan 24 warga sipil dari minoritas Alawi, sementara 93 warga sipil lainnya menjadi korban pembantaian di provinsi Tartus, Latakia, Hama, dan Homs pada hari Rabu (12/3).
 
SOHR juga mengungkapkan kekhawatiran mengenai penguburan korban dalam kuburan massal di pesisir Suriah. Mereka memperingatkan bahwa situs-situs ini bisa digunakan sebagai alat propaganda untuk membentuk narasi tertentu yang sesuai dengan agenda politik dan kemanusiaan tertentu, serta dapat menyebabkan tuduhan terhadap sisa-sisa rezim lama atas kejahatan perang, yang semakin memperumit upaya pencarian keadilan.
 
Direktur SOHR, Rami Abdulrahman, menyatakan bahwa sebagian besar korban tewas akibat eksekusi lapangan yang secara khusus menargetkan komunitas Alawi. Ia menegaskan bahwa “ini bukan tindakan kekerasan acak, tetapi eksekusi yang sistematis,” serta memperingatkan bahwa jumlah korban masih dapat meningkat seiring dengan proses dokumentasi yang terus berlangsung.
 
Observatorium ini menyoroti risiko pengaburan fakta tentang pembantaian yang dilakukan terhadap warga sipil tak bersenjata dari komunitas Alawi, serta pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan personel Kementerian Pertahanan Suriah, termasuk pemindahan paksa warga dan pembakaran rumah mereka.
 
Kekerasan di Suriah 'Mencapai Kesimpulan'
Kekerasan di Latakia dan daerah sekitarnya menyebar setelah bentrokan antara pasukan keamanan pemerintah dan pejuang yang diduga terafiliasi dengan rezim lama Bashar al-Assad, menurut laporan pemantau perang pada 7 Maret.
 
Kementerian Pertahanan Suriah mengumumkan bahwa "operasi militer" di garis pesisir telah selesai pada 10 Maret, dengan klaim bahwa mereka telah membasmi sel-sel dan anggota rezim lama di Tartus dan Latakia. Mereka juga mengklaim bahwa investigasi sedang berlangsung untuk menyelidiki peristiwa terbaru serta memastikan keadilan bagi para korban.
 
Sumber lokal melaporkan bahwa ketegangan di wilayah pesisir Suriah mulai mereda seiring dengan dimulainya misi PBB yang melakukan kunjungan dari kota Jableh. Mereka mencatat bahwa "keadaan tenang yang penuh kewaspadaan meliputi beberapa wilayah di pedesaan Latakia," terutama setelah penarikan pejuang asing dari daerah tersebut.
 
Seorang sumber lokal mengonfirmasi kepada Al Mayadeen bahwa delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa memasuki kota Jableh di pedesaan Latakia, Suriah, untuk pertama kalinya pada 10 Maret. Delegasi tersebut didampingi oleh anggota Keamanan Umum dari rezim baru ketika mereka mengunjungi lingkungan sekitar, memeriksa toko-toko dan rumah-rumah yang baru saja dijarah dan dibakar.
 
Pemimpin transisi Suriah, Ahmad al-Sharaa, pada hari Minggu berjanji untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas bentrokan kekerasan antara militan yang diduga terkait dengan mantan Presiden Bashar al-Assad dan pasukan keamanan baru negara itu. Ia menegaskan bahwa siapa pun yang menyalahgunakan wewenangnya akan menghadapi konsekuensi hukum.
 
Serangan di barat laut Suriah telah menyebabkan ribuan orang dari kelompok minoritas Alawit terpaksa mengungsi. Banyak dari mereka yang diwawancarai oleh The New York Times berbagi kisah mengerikan tentang pengalaman mereka ketika pasukan bersenjata mencapai desa-desa mereka.[IT/r]
 
 
Comment