LSM: Aturan Baru Israel Bisa Membuat Bantuan bagi Warga Palestina Hampir Mustahi
Story Code : 1196970
Palestinian girls struggle as they get donated food at a distribution center in Beit Lahia, northern Gaza Strip
Aturan baru yang diusulkan oleh pemerintah Israel dapat membuat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza dan Tepi Barat “hampir mustahil”, memicu kekhawatiran di kalangan organisasi non-pemerintah (LSM) yang berdedikasi membantu warga Palestina.
Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT), sebuah badan Israel yang bertanggung jawab mengawasi urusan Palestina, mengajukan rencana baru untuk distribusi bantuan kemanusiaan, yang dianggap tidak dapat diterima oleh beberapa LSM, seperti dilaporkan oleh AFP pada Senin (17/3).
"Kemampuan untuk mengirimkan bantuan dan mematuhi prinsip kemanusiaan di Gaza, pembatasan akses yang kami hadapi di Tepi Barat... Semua ini, jika digabungkan, terasa seperti kita sedang menyaksikan kiamat," ujar seorang staf LSM anonim kepada AFP, menggambarkan situasi tersebut sebagai "Kami seperti memegang alat pemadam kebakaran untuk memadamkan bom nuklir."
Pada akhir Februari, COGAT mengusulkan rencana untuk memperkuat kendali Zionis Israel atas bantuan dengan mendirikan pusat logistik yang terhubung dengan militer dan menerapkan kontrol ketat terhadap seluruh rantai pasokan kemanusiaan, dengan alasan untuk mencegah penjarahan dan penyalahgunaan bantuan.
Seorang perwakilan dari LSM Eropa mengatakan kepada AFP, "Pemikiran (COGAT) adalah bahwa Hamas akan membangun kembali kekuatannya berkat bantuan kemanusiaan... Itu tidak benar, dan bantuan kemanusiaan tidak akan memberi mereka roket atau rudal," sambil menambahkan bahwa "Israel hanya ingin lebih mengontrol wilayah tersebut."
LSM-LSM tersebut mencatat bahwa tanggal penerapan aturan baru yang ditetapkan oleh COGAT terkait bantuan kemanusiaan masih belum diketahui.
Sementara itu, kebijakan terpisah yang diberlakukan pemerintah Israel pada bulan Maret telah memperketat pendaftaran LSM yang bekerja dengan warga Palestina melalui kerangka baru, yang mengharuskan organisasi untuk memberikan informasi rinci tentang staf mereka dan memberikan otoritas kepada pemerintah untuk menolak karyawan yang dianggap terhubung dengan "delegitimasi" terhadap Zionis "Israel."
Zionis Israel Perketat Blokade Gaza, Langgar Gencatan Senjata
Pada 2 Maret, Zionis Israel memberlakukan larangan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza setelah berakhirnya fase pertama gencatan senjata, sebagai upaya menekan Hamas agar memperpanjang fase pertama dan tidak beralih ke fase kedua perjanjian.
Dalam langkah terbaru untuk memperketat cengkeramannya di Gaza, Menteri Energi Israel Eli Cohen mengumumkan pada 9 Maret bahwa ia telah menandatangani perintah untuk memutus pasokan listrik ke Jalur Gaza. Ia menegaskan bahwa "Zionis Israel akan menggunakan semua alat yang kami miliki untuk membawa kembali sandera dan memastikan bahwa Hamas tidak lagi berada di Gaza setelah perang ini berakhir."
Kepala Kantor Media Pemerintah di Gaza, Salama Maarouf, pada 8 Maret—bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional—mendesak komunitas internasional untuk mengingat pembantaian yang dilakukan oleh pendudukan Israel, yang telah menewaskan 12.316 perempuan di Gaza.
Juru bicara UNICEF Rosalia Bollen memperingatkan bahwa blokade ini berisiko menyebabkan kematian anak-anak karena memblokir bantuan dan bahan bakar masuk ke Gaza. Ia menekankan bahwa kekurangan listrik dan bahan bakar membahayakan infrastruktur penting seperti rumah sakit dan pabrik desalinasi air, serta mendesak peningkatan produksi air secara darurat.
MSF Mengecam Zionis Israel karena Menjadikan Bantuan Kemanusiaan Sebagai Senjata Perang
Dalam konteks yang sama, organisasi Dokter Lintas Batas (MSF) mengecam "penggunaan bantuan oleh Zionis Israel sebagai alat perang di Gaza," serta mengutuk blokade yang terus berlangsung yang menghalangi warga Palestina memperoleh sumber daya penting seperti air dan listrik.
Dalam pernyataannya, MSF mengatakan bahwa mereka “dengan tegas mengutuk” pengepungan yang diberlakukan oleh Israel, menuduh otoritas Zionis Israel melakukan “hukuman kolektif” dan “memanipulasi kebutuhan kemanusiaan sebagai alat tawar-menawar” dalam negosiasi gencatan senjata.
"Otoritas Israel kembali menormalisasi penggunaan bantuan sebagai alat negosiasi. Ini keterlaluan. Bantuan kemanusiaan tidak boleh digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam perang," ujar Myriam Laaroussi, koordinator darurat MSF.
Laaroussi juga memperingatkan, "Gencatan senjata tanpa peningkatan bantuan kemanusiaan adalah kontradiktif," menekankan bahwa operasi MSF akan sangat terbatas tanpa pasokan bahan bakar.
Organisasi tersebut mendesak otoritas Zionis Israel untuk "menghormati hukum kemanusiaan internasional dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan" dengan mengakhiri blokade.
MSF juga menyerukan kepada "sekutu Zionis Israel" yang “mengabaikan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional” untuk "tidak menormalisasi tindakan semacam itu" dan mengambil langkah nyata "agar Gaza tidak semakin terpuruk dalam kehancuran."
Mahkamah Internasional Akan Gelar Sidang tentang Kewajiban Kemanusiaan Zionis Israel
Di tengah situasi ini, Mahkamah Internasional (ICJ) mengumumkan bahwa mereka akan mulai menggelar sidang mengenai kewajiban kemanusiaan Zionis Israel terhadap Palestina di Den Haag pada 28 April.
Sidang ini merupakan tindak lanjut dari resolusi Majelis Umum PBB yang disahkan pada bulan Desember, yang meminta pendapat hukum dari ICJ mengenai tanggung jawab Israel dalam "memastikan dan memfasilitasi penyediaan bantuan yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil Palestina."
Resolusi tersebut disahkan setelah Israel melarang badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), dan menegaskan perlunya klarifikasi mengenai tanggung jawab Zionis Israel dalam krisis kemanusiaan di Palestina.
Meskipun keputusan ICJ memiliki kekuatan hukum yang mengikat, pengadilan tersebut tidak memiliki mekanisme untuk menegakkannya.[IT/r]