Pendidikan di Gaza: Guru dan Siswa Melawan di Tengah Genosida Israel
Story Code : 1209614
Palestinians inspect the damage at a UN school used as a shelter that was hit by Israeli military strikes, in Jabalia, northern Gaza Strip
Di Gaza, tempat perang dan pengungsian paksa menjadi kenyataan sehari-hari, pendidikan bukan lagi sekadar hak — melainkan sebuah bentuk perlawanan. Seperti dilaporkan The Intercept, meskipun sekolah hancur, pengungsian terus-menerus, dan ketakutan akan pemboman tak pernah hilang, guru dan siswa tetap teguh dalam mengejar ilmu, menolak untuk membiarkan perang menghapus masa depan mereka.
Sejak awal perang genosida pada Oktober 2023, sistem pendidikan di Gaza telah dihancurkan secara sistematis. Menurut The Intercept, seluruh universitas di Gaza telah hancur akibat serangan udara Israel, sementara sekolah-sekolah dibom, ditutup, atau diubah menjadi tempat penampungan keluarga pengungsi. Data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 85% sekolah di Gaza telah hancur total atau sebagian.
Tingkat kehancuran ini menunjukkan betapa besar dampak perang terhadap infrastruktur pendidikan di Gaza — dampak yang terus meningkat setiap harinya.
Guru di Tengah Perang Gaza: Mengajar di Tengah Krisis
Serene Nasrallah, dosen bahasa Inggris di Universitas Islam Gaza, mengatakan kepada The Intercept bahwa perang telah mengubah total perannya sebagai pendidik. “Saya tidak bisa dengan mudah menjangkau siswa saya,” jelasnya, merujuk pada pemadaman listrik total dan gangguan internet. “Saya hanya bisa berbagi slide. Saya tidak bisa menjelaskan. Saya tidak bisa berinteraksi. Semuanya saya kelola lewat ponsel, termasuk penilaian.”
Ia juga menggambarkan dampak emosional dan logistik dari situasi tersebut. “Mereka dikelilingi oleh kecemasan, ketakutan, dan ketidakpastian; tingkat akademis mereka sangat terdampak.”
Kematian seorang mahasiswa yang meminta penundaan ujian karena luka-luka masih menghantuinya. “Bagaimana Anda bisa meminta seseorang untuk fokus belajar tata bahasa ketika tubuhnya terbakar dan patah?” Namun, Serene tetap mengajar. “Saya melakukannya dengan harapan pengalaman ini suatu hari bisa membantu saya mendapatkan beasiswa atau pekerjaan di luar negeri. Tapi terutama, saya melakukannya demi pahala dari Allah.”
Pesannya jelas: “Kebutuhan paling mendesak bukanlah sumber daya, tapi keamanan. Hanya ketika bom berhenti dijatuhkan dan genosida berakhir, pembelajaran yang sesungguhnya bisa dimulai.”
Ketahanan Mahasiswa Gaza di Tengah Kehilangan
Bagi Heba Alajouz, mahasiswa kedokteran tahun ketiga di Universitas Al-Azhar, dampak perang Gaza terhadap mahasiswa sangatlah pribadi. Ia telah menyaksikan kampusnya hancur dan para dosennya menghilang — sebagian tewas, sebagian lain bekerja di rumah sakit yang kewalahan.
Penghancuran sekolah dan kehilangan lebih dari 800 tenaga pendidik semakin memperkecil peluang untuk membangun kembali kehidupan akademis mereka.
“Kami berhenti kuliah. Para dosen tidak bisa dihubungi,” katanya kepada The Intercept. Listrik dan konektivitas tetap tidak stabil. “Saya merindukan semua tentang kehidupan kampus: teman-teman saya, suasananya, rutinitas harian.”
Pendidikannya telah terhenti selama delapan bulan. “Setiap hari membawa perasaan putus asa.” Namun Heba tetap berpegang pada harapan, “Saya berharap perang ini segera berakhir agar kami bisa belajar seperti mahasiswa di mana pun, dengan aman dan bermartabat.”
Bukan Kasus yang Terisolasi
Fatima Skaik, mahasiswi arsitektur, dulunya bermimpi merancang masa depan Gaza. Kini, ia menjadi pengungsi dan kehilangan rumah serta kampusnya. Ia mengatakan kepada The Intercept, “Mimpi saya satu-satunya sekarang adalah bertahan hidup, menyelesaikan kuliah, dan membantu membangun kembali Gaza.”
Pendidikannya terhenti dari Oktober 2023 hingga Agustus 2024. Akses internet yang buruk tetap menjadi penghalang utama. Namun dukungan dari para dosennya memberinya kekuatan. “Mereka menghubungi saya ketika saya menghilang karena internet terputus. Itu yang membuat saya bertahan.”
Baginya, belajar di tengah pengungsian adalah bentuk perlawanan. “Kami melawan bukan hanya dengan senjata, tapi dengan ilmu, keteguhan, dan ketahanan. Pendidikan itu sendiri adalah bentuk perlawanan.”
Pendidikan Sebagai Perlawanan di Gaza
Nadera Moshtaha, mahasiswa senior jurusan Bahasa Inggris, turut menyuarakan trauma yang ia alami. “Universitas kami telah hancur, teman-teman kami telah terbunuh, dan kami tidak lagi belajar di kampus,” ujarnya kepada The Intercept.
Pengungsian berulang dan kehilangan pribadi sangat membebani. “Tidak ada tempat aman di seluruh kota,” jelasnya. Pemadaman listrik menghalanginya untuk belajar di malam hari — satu-satunya waktu tenang yang tersisa.
“Saya rindu teman-teman saya, tawa kami, dan pagi-pagi yang penuh semangat. Perang ini telah mengeringkan air mata saya. Saya bahkan tidak menangis saat perpisahan.”
Saat ditanya tentang masa depannya, ia menjawab, “Sejujurnya, saya tidak tahu. Kalau tidak ada perang, saya bisa menjawab di mana saya melihat diri saya kelak.”
Namun ia tetap mempertahankan tujuan, “Harapan tetap terbang, bahkan di antara kematian. Saya mencoba terus menulis dan belajar, karena mungkin dengan kata-kata saya, saya bisa membantu kota ini.”[IT/r]