Pakar PBB: Bantuan Gaza Berubah Menjadi Alat Perang
Story Code : 1210630
Smoke rising to the sky after an explosion in the Gaza Strip as he visits a sightseeing area in Sderot, southern occupied Palestine
Sebuah opini yang diterbitkan oleh penulis Michel Fakhri untuk The Guardian pada hari Kamis (23/5) telah mengkritik tajam kampanye genosida dan blokade kemanusiaan Zionis "Israel" yang sedang berlangsung di Gaza, menggambarkan situasi tersebut sebagai serangan yang disengaja dan melanggar hukum terhadap warga sipil.
Fakhri, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, menuduh otoritas Zionis Israel secara sistematis menggunakan kelaparan sebagai metode peperangan. Ia mengutip peningkatan dramatis dalam kekurangan gizi akut pada anak-anak dan kenaikan harga tepung terigu yang mengejutkan sebesar 3.000%, sebuah indikasi bagaimana kelangsungan hidup dasar telah dijadikan senjata untuk melawan warga Palestina. Menurut Fakhri, penduduk Gaza sedang mengalami kondisi yang "tidak manusiawi" dan "dirancang untuk menggusur dan menghancurkan" mereka.
Artikel tersebut membahas peluncuran serangan darat Zionis "Israel", yang disebut Operasi Gideon's Chariots, yang menggambarkannya sebagai upaya terencana untuk mengamankan kendali penuh dan tak terbatas atas Jalur Gaza. Langkah ini muncul sebagai bentuk penolakan terbuka terhadap putusan internasional, termasuk putusan Mahkamah Internasional (ICJ), yang menyatakan pendudukan tersebut ilegal dan memerintahkan penghentiannya bersamaan dengan ganti rugi bagi warga Palestina.
Bantuan yang Dijadikan Senjata
Fokus utama artikel Fakhri adalah "manipulasi sinis" atas bantuan kemanusiaan. Ia menuduh Zionis "Israel" mengendalikan ketat upaya bantuan dengan cara yang memaksa warga sipil untuk mematuhi tujuan militer. Zionis "Israel menjadikan bantuan bersyarat pada tujuan politik dan militer," tulisnya.
"Israel menjadikan kelaparan sebagai alat tawar-menawar." Ia mengecam kebijakan ini sebagai penghinaan langsung terhadap hukum humaniter, dengan menyatakan, Zionis "Israel dengan sengaja dan tanpa malu-malu memaksakan kondisi yang tidak manusiawi kepada warga sipil di Wilayah Palestina yang Diduduki."
Analisis ini diperkuat oleh pengungkapan dari laporan Financial Times yang diterbitkan sehari sebelumnya, yang mengungkap rincian inisiatif yang didukung AS untuk mengalihkan bantuan melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah badan swasta terdaftar di Swiss yang beroperasi di bawah pengawasan militer Israel.
Puluhan kontraktor swasta asing, beberapa di antaranya mantan militer, dilaporkan telah tiba untuk mengelola distribusi bantuan melalui pos pemeriksaan militer di Gaza selatan. Rencana tersebut mengesampingkan PBB dan memaksa warga Palestina untuk melakukan perjalanan yang jauh, seringkali berbahaya, ke pusat-pusat untuk menerima makanan dan pasokan medis.
Pejabat PBB telah mengecam proyek tersebut secara luas.
Seorang sumber yang tidak disebutkan namanya menggambarkannya sebagai "kedok untuk relokasi paksa." Mantan CEO World Central Kitchen, Nate Mook, yang secara keliru disebutkan GHF sebagai anggota dewan, membantah terlibat, yang mencerminkan kekhawatiran atas kredibilitas dan ketidakjelasan organisasi yayasan tersebut. Hingga minggu lalu, tidak ada donor yang dikonfirmasi secara publik yang berkomitmen untuk mendanai inisiatif tersebut, meskipun GHF mengklaim telah mengamankan $100 juta dalam bentuk janji.
Politik Kelaparan
Menurut FT, dua firma keamanan yang berbasis di AS, Safe Reach Solutions dan UG Solutions, bermitra dalam peluncuran tersebut, yang semakin meningkatkan kekhawatiran tentang militerisasi bantuan. Sementara GHF bersikeras bahwa distribusi akan "dikelola secara eksklusif oleh tim sipil," organisasi kemanusiaan dan PBB telah memperingatkan bahwa model tersebut melanggar prinsip-prinsip kenetralan, imparsialitas, dan kemanusiaan.
Artikel tersebut juga mencatat bahwa Program Pangan Dunia dan World Central Kitchen telah menghentikan operasinya karena pembatasan Zionis Israel. Ratusan truk bantuan PBB masih tertahan di perbatasan Gaza, sementara warga sipil menghadapi kelaparan yang semakin parah. Kepala kemanusiaan PBB Tom Fletcher menggambarkan situasi tersebut secara gamblang di Dewan Keamanan: "Hal itu menjadikan kelaparan sebagai alat tawar-menawar."
Menghadapi kelumpuhan Dewan Keamanan, yang sebagian besar disebabkan oleh veto AS yang melindungi "Israel" dari akuntabilitas, Fakhri meminta Majelis Umum PBB untuk menerapkan resolusi "Bersatu untuk Perdamaian", yang akan memungkinkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengawal konvoi bantuan ke Gaza tanpa memerlukan persetujuan Zionis Israel.
Ia mengakhiri dengan peringatan bahwa seruan diplomatik dan gerakan simbolis tidak lagi memadai. "Pada titik ini, ancaman politik yang tidak berdasar dan negosiasi perdagangan yang ditangguhkan tidak lagi berarti," tulis Fakhri. Ia mendesak tindakan segera dan tegas untuk mengakhiri hukuman kolektif terhadap 2,3 juta penduduk Gaza.[IT/r]