Guncangan Strategis: Enam Faktor yang Menggerus Ketahanan Israel dalam Perang Melawan Iran
Story Code : 1215367
Dirangkum dari Al-Waght, analisis berikut merinci enam faktor utama yang secara sistematis mengikis ketahanan militer, politik, ekonomi, dan sosial Israel di tengah konflik yang memanas.
1. Keruntuhan Sistem Pertahanan: Ilusi Keunggulan yang Retak
Selama dua dekade, Israel membanggakan sistem pertahanan berlapis: Iron Dome, David’s Sling, Patriot, Arrow, hingga sistem THAAD. Namun, serangan simultan Iran melalui rudal hipersonik dan drone lintas medan membuktikan bahwa pertahanan ini dapat ditembus.
Serangan Iran menargetkan titik-titik vital seperti pangkalan udara Nevatim—penyimpanan utama pesawat F-35—serta sistem bahan bakar militer. Hasilnya bukan hanya kerusakan fisik, tetapi keruntuhan moral dan guncangan simbolik terhadap kepercayaan publik pada "langit aman" Israel.
2. Ketergantungan pada Infrastruktur Rentan
Berbeda dari Iran yang memiliki kemandirian industri dan logistik, Israel sangat bergantung pada infrastruktur sentralistik: pelabuhan, bandara, fasilitas desalinasi, dan zona industri seperti Haifa. Serangan terhadap fasilitas ini dapat:
- Memicu krisis air, karena mayoritas air diperoleh dari instalasi desalinasi.
- Menghentikan rantai pasokan militer dan sipil, termasuk bahan makanan dan bahan bakar.
- Melumpuhkan ekonomi teknologi tinggi, dengan risiko pelarian modal asing dan gangguan industri pertahanan.
Dalam skenario perang jangka panjang, ini adalah titik lemah mematikan yang tak bisa dipulihkan dengan cepat.
3. Geopolitik Kecil, Risiko Besar
Secara geostrategis, Israel adalah entitas sempit dengan populasi padat dan distribusi wilayah terbatas. Sekitar 70% penduduk tinggal di wilayah Tel Aviv dan sekitarnya, membuat serangan presisi memiliki dampak maksimal.
Ketiadaan "kedalaman strategis" memaksa Israel membangun doktrin perang berbasis preemptive strike, serangan cepat, dan perang singkat. Namun kini, perang gesekan tak terelakkan. Jika konflik meluas, Israel tidak memiliki ruang manuver geografis untuk menyerap guncangan serangan berulang.
4. Krisis Politik dan Kehancuran Kabinet
Perang Gaza memperlihatkan keterbelahan internal Israel. Dari pengunduran diri Benny Gantz hingga retaknya koalisi akibat tekanan dari Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi), Netanyahu kini memimpin pemerintahan minoritas rapuh. Bahkan muncul dugaan bahwa serangan terhadap Iran dilakukan sebagai “gambling politik” untuk menyelamatkan karier dan menunda keruntuhan kabinet.
Ketika rudal mulai menghantam wilayah Israel, pertanyaan publik bukan hanya tentang keamanan, tetapi “di mana Netanyahu bersembunyi?” Rezim ini menghadapi krisis legitimasi, bukan hanya militer.
5. Beban Ekonomi yang Tak Tertahankan
Biaya perang melawan Iran melampaui $1 miliar per hari (Yedioth Ahronoth). Dengan rudal Iron Dome seharga $1–2 juta per unit, sedangkan rudal Iran berbasis produksi domestik jauh lebih murah, Israel menghadapi perang asimetris biaya tinggi.
Ditambah, sektor industri utama—seperti Haifa dan zona-zona teknologi di utara—sudah berada dalam jangkauan serangan rudal balistik. Gangguan terhadap pusat-pusat ini akan mempercepat:
- Migrasi balik penduduk Israel
- Pelarian modal asing
- Penurunan kepercayaan pasar global
Jika situasi ini berlanjut, pondasi ekonomi dan psikologis masyarakat Israel akan runtuh dari dalam.
6. Isolasi Global dan Gagalnya Narasi “Korban”
Genosida Gaza telah menghancurkan kredibilitas moral Israel. Dunia kini menyaksikan Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai agresor bersenjata nuklir yang membantai anak-anak dan warga sipil. Narasi "self-defense" tak lagi laku.
Iran, dalam posisi membalas secara proporsional dan mempertahankan wilayahnya, justru mendapatkan dukungan moral dan diplomatik dari Dunia Islam dan negara-negara Selatan Global. Ini memberi Teheran ruang gerak strategis untuk melanjutkan tekanan tanpa dibatasi oleh kecaman internasional yang berarti.
KESIMPULAN: Rezim Tel Aviv dalam Posisi Bertahan yang Melemah
Apa yang selama ini diproyeksikan sebagai keunggulan Israel — superioritas teknologi, dukungan Barat, dan deterensi militer — kini sedang teruji dan mulai runtuh satu per satu. Iran, dengan gabungan kekuatan militer, dukungan rakyat, kemandirian industri, dan posisi geopolitik, mampu melanjutkan perlawanan.
Israel, sebaliknya, menghadapi perang yang tak diinginkannya, dengan biaya politik, ekonomi, dan moral yang terus membengkak. Jika tak segera meninjau ulang perhitungannya, Tel Aviv bukan hanya akan kalah di medan perang, tapi juga di hati rakyatnya sendiri.[IT/AR]