Hamas Tanggapi Rencana Trump, Setujui Penarikan dari Gaza dan Pertukaran Tahanan
Story Code : 1237856
A Hamas fighter in combat fatigues stands before the ceremony for the handover of Israeli captives to the Red Cross in Nuseirat, central Gaza Strip
Dalam pernyataannya, Hamas menyampaikan apresiasi atas upaya Arab, Islam, dan internasional — termasuk dari Presiden Trump — yang bertujuan menghentikan perang di Gaza, menjamin masuknya bantuan kemanusiaan, mencegah pengusiran warga Palestina, serta menolak pendudukan atas Jalur Gaza.
Gerakan ini menyatakan persetujuannya terhadap kerangka kerja untuk kesepakatan pertukaran tahanan, dengan bersedia membebaskan semua tawanan Zionis Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sesuai formula yang diusulkan oleh Trump, setelah kondisi di lapangan memungkinkan proses tersebut berlangsung. Hamas menegaskan kesiapan untuk segera memulai negosiasi melalui para mediator guna merampungkan rincian kesepakatan.
Penyerahan Administrasi Gaza
Hamas juga menegaskan kembali kesediaannya untuk menyerahkan administrasi Gaza kepada otoritas teknokrat Palestina yang terdiri dari individu-individu independen, berdasarkan konsensus nasional dan didukung oleh negara-negara Arab dan Islam.
Kelompok ini menekankan bahwa aspek-aspek lain dari proposal Trump yang berkaitan dengan masa depan jangka panjang Gaza serta hak-hak dasar rakyat Palestina merupakan isu-isu yang harus diputuskan melalui proses nasional yang lebih luas.
Hamas menegaskan bahwa masalah-masalah tersebut harus dibahas dalam kerangka persatuan Palestina, dengan tetap mengacu pada hukum internasional dan resolusi-resolusi PBB.
"Hamas akan menjadi bagian dari proses nasional ini dan akan berkontribusi secara bertanggung jawab," demikian pernyataan tersebut ditutup.
Trump Keluarkan Ultimatum
Trump mengeluarkan ultimatum kepada Hamas, memberikan tenggat waktu hingga pukul 18.00 waktu Washington pada hari Minggu untuk menerima proposal “perdamaian” Gaza yang baru saja diluncurkan, dengan peringatan bahwa "neraka akan terbuka" jika Hamas menolaknya.
Ancaman tersebut, yang disampaikan di tengah koordinasi berkelanjutan antara AS dan Zionis Israel, menuai kecaman luas dari para analis dan pegiat hak asasi manusia sebagai bentuk diplomasi koersif yang lebih bertujuan memperkuat agenda politik Washington ketimbang mencapai perdamaian sejati.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, memperkuat nada ancaman presiden dalam pengarahan pers hari Jumat, menyebut tawaran tersebut sebagai "kesempatan terakhir" bagi Hamas untuk menghindari kehancuran. "Hamas memiliki kesempatan untuk menerima rencana ini dan melangkah maju menuju masa depan yang damai dan makmur di kawasan. Jika tidak, konsekuensinya, sayangnya, akan sangat tragis," ujarnya.
Rencana yang Didukung ‘Zionis Israel’ dan Dibangun di Atas Kendali AS
Rencana 20 poin yang diluncurkan pekan lalu bersamaan dengan Perdana Menteri Zionis Israel Benjamin Netanyahu ini menggambarkan masa depan Gaza yang bergantung pada perlucutan senjata Hamas, pengembalian tawanan Zionis Israel, dan pembentukan administrasi yang diawasi pihak asing.
Rencana ini membayangkan Gaza diubah menjadi “zona bebas militer tanpa ancaman,” yang akan diawasi oleh “Dewan Perdamaian” internasional yang baru dibentuk, diketuai langsung oleh Trump dan mencakup tokoh-tokoh seperti mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang dikenal karena keterlibatannya dalam perang Irak dan Afghanistan.
Proposal tersebut menjanjikan program rekonstruksi menyeluruh dengan dukungan negara-negara Barat dan Teluk, namun bersyarat pada pembongkaran total infrastruktur militer perlawanan. Rencana ini juga menjanjikan amnesti bagi anggota Hamas yang bersedia menerima "koeksistensi" dan meletakkan senjata, sementara memberikan opsi bagi anggota lainnya untuk meninggalkan Gaza melalui “koridor aman” menuju negara-negara yang bersedia menerima mereka — klausul yang oleh para kritikus dianggap sebagai bentuk pengusiran paksa.
Di bawah rencana ini, administrasi Gaza akan dialihkan ke komite teknokrat non-politik yang akan beroperasi di bawah pengawasan Dewan Perdamaian. Sebuah pasukan stabilisasi internasional sementara, terdiri dari personel kepolisian AS, Mesir, Yordania, dan Palestina, akan dikerahkan untuk “mengamankan perbatasan” dan mengelola keamanan internal di Gaza.
Inisiatif ekonomi yang menyertainya, dipimpin oleh konsorsium yang dijuluki "Tim Kota-Kota Keajaiban," bertujuan menarik investasi asing, membentuk zona ekonomi khusus, dan membuka Gaza terhadap modal global — namun hanya setelah proses demiliterisasi selesai.[IT/r]