0
Friday 10 October 2025 - 09:58
Republik Islam Iran

Mengapa Diplomasi Adalah Strategi, Bukan Taktik, bagi Teheran

Story Code : 1239122
Mengapa Diplomasi Adalah Strategi, Bukan Taktik, bagi Teheran
Pandangan konsisten ini menempatkan Iran pada posisi sebagai pemain yang memiliki kekuatan penangkal sekaligus kemampuan untuk berinteraksi—sebuah kombinasi yang dinilai akan menentukan dalam dinamika masa depan Asia Barat.

Terlepas dari apakah Teheran menganggap diplomasi memiliki nilai intrinsik atau tidak, selama lebih dari empat dekade terakhir Iran selalu memilih jalur diplomasi ketimbang ketegangan militer—sebuah pilihan yang berusaha dijalankan bukan karena keterpaksaan, melainkan karena kesadaran strategis.

Penggunaan diplomasi yang cerdas kini menjadi lebih penting bagi Iran dari sebelumnya. Di satu sisi, Teheran kerap dituduh kurang bersemangat menempuh jalur ini, sementara di sisi lain, ia menghadapi musuh di kawasan yang memiliki permusuhan lama terhadap diplomasi.

“Diplomasi tidak pernah berakhir; ia selalu ada,” demikian keyakinan kebijakan luar negeri Iran yang disampaikan Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dalam pertemuannya bersama para duta besar dan kuasa usaha di Teheran.

Araghchi menegaskan bahwa dari sudut pandang Iran, peran diplomasi tidak pernah dihapus atau diabaikan. “Iran akan terus menempuh jalur ini dan bertindak secara bertanggung jawab dalam menggunakan alat diplomasi untuk mengejar kepentingannya,” ujarnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Esmaeil Baghaei, juga menekankan kelanjutan penggunaan instrumen diplomatik dalam interaksi dengan dunia internasional. “Kami percaya bahwa jalan diplomasi tidak pernah tertutup. Kami akan menggunakan semua cara untuk mengamankan kepentingan nasional negara kami, dan selama diplomasi efektif serta bermanfaat, kami tidak akan ragu menggunakannya,” katanya dalam konferensi pers pekanannya.

Penekanan terhadap diplomasi ini tidak berarti menutup mata terhadap tantangan nyata dalam hubungan Iran dengan sebagian negara Barat. Araghchi dan Baghaei sama-sama menyinggung soal tuntutan berlebihan dari pihak Barat yang menjadi penyebab utama kebuntuan diplomatik antara Iran dan Amerika Serikat.

Diplomasi Iran dalam Setahun Terakhir

Selama empat dekade terakhir, Republik Islam Iran secara konsisten menunjukkan keyakinannya untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui jalur diplomasi.

Dimulai dari surat yang dikirim oleh Presiden AS, Teheran memperlihatkan fleksibilitas tinggi dalam menanggapinya dan bahkan memulai negosiasi tidak langsung dengan utusan khusus Gedung Putih. Namun, menjelang putaran keenam perundingan, Teheran justru diserang oleh rezim Israel dengan restu dari Amerika.

Sebelum perundingan itu, Iran juga secara rutin melakukan dialog dengan perwakilan tiga negara Eropa untuk mencari solusi diplomatik atas berbagai persoalan, serta bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk menunjukkan transparansi program nuklirnya.

Setelah serangan terhadap fasilitas nuklir dan sejumlah kota di pertengahan Juni 2025, Teheran menilai jalur diplomasi saat itu tidak efektif dan memilih untuk mempertahankan kedaulatannya secara penuh. Namun bahkan selama 12 hari perang tersebut, Iran tidak sepenuhnya menyingkirkan diplomasi—terbukti dengan pertemuan Menlu Araghchi dengan para mitranya dari Inggris, Jerman, Prancis, dan Uni Eropa di Jenewa di tengah gempuran bom Israel.

Akhir perang dua belas hari itu justru membuka seruan internasional untuk kembali ke meja perundingan. Kali ini, Iran mencoba memanfaatkan dimensi hukum dari diplomasi untuk melanjutkan perjuangannya.

Puncak itikad baik Iran dalam jalur diplomasi terjadi di Kairo, Mesir, ketika Teheran memutuskan tetap mempertahankan keanggotaannya dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan menyatakan kesediaannya untuk kembali bekerja sama dengan IAEA, dengan syarat mekanisme snapback dan sanksi Dewan Keamanan PBB tidak diaktifkan kembali. Namun, negara-negara Eropa justru melakukan kebalikannya, sehingga menciptakan kebuntuan baru.

Kendati demikian, dalam langkah terakhirnya di Sidang Umum PBB, Iran tetap berupaya memecah kebuntuan ini. Akan tetapi, fleksibilitas maksimum yang ditunjukkan Teheran diabaikan oleh provokasi Amerika dan pelaksanaan oleh pihak Eropa, menempatkan diplomasi pada titik paling tidak efektif dalam beberapa tahun terakhir.

Mengapa Diplomasi Penting di Asia Barat

Jika kita mengakui bahwa dunia saat ini tengah dilanda krisis besar—perang, genosida, migrasi massal, dan resesi ekonomi—maka diplomasi adalah jalan paling murah untuk mengurangi dampak-dampak tersebut.

Diplomasi memungkinkan negara-negara menghadapi tantangan itu dengan biaya rendah, baik secara manusiawi maupun material. Di kawasan seperti Asia Barat, di mana dua konflik militer besar baru saja terjadi, setiap perang baru akan membawa kerusakan yang tak tergantikan terhadap infrastruktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Namun, di kawasan yang sama terdapat satu rezim dan seorang perdana menteri—yakni Israel dan Benjamin Netanyahu—yang menolak prinsip rasional diplomasi. Karena legitimasi politik Israel didasarkan pada kekuatan militer, konsep dialog dan perdamaian justru dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan kekuasaan.

Bagi Netanyahu, diplomasi dan dialog adalah sinonim dari kematian politik. Karena itu, ia memilih memperpanjang konflik agar tetap relevan. Sikap agresif rezim Israel yang kerap menyeret Amerika Serikat ke dalam konflik ini telah menjadikan perdamaian sebagai barang langka di kawasan, sekaligus memperkuat urgensi diplomasi.

Penekanan Iran terhadap dialog, meski memiliki kemampuan pertahanan tinggi, menjadi kartu andalan Teheran dalam beberapa bulan terakhir. Namun, langkah menuju proses diplomatik juga harus disambut oleh pihak lawan dengan prinsip yang sama, yaitu rasionalitas dan keinginan tulus untuk berdialog.

Inilah alasan mengapa Teheran menyatakan kesiapannya untuk kembali ke jalur diplomasi, segera setelah melihat tanda-tanda rasionalitas dalam pendekatan pihak Barat. [IT/G]
Comment