0
Sunday 19 October 2025 - 04:53
Gejolak Politik AS:

‘Hari Tanpa Raja’: Lebih dari 2.600 Protes di Seluruh AS Menentang Otoritarianisme Trump

Story Code : 1240975
'No Kings' national day of protest in New York
Situasi saat ini mengingatkan kita pada era Presiden Richard Nixon dan mantan Direktur FBI J. Edgar Hoover—suasana yang kental dengan perseteruan politik dan meningkatnya upaya untuk mengejar musuh yang dianggapnya.
 
‘Hari Tanpa Raja’: Sebuah Penolakan Nasional terhadap Otoritarianisme 
Dalam apa yang disebut oleh para penyelenggara sebagai protes terkoordinasi terbesar sejak Trump menjabat, lebih dari 2.600 demonstrasi direncanakan di seluruh 50 negara bagian pada hari Sabtu (18/10) dengan tajuk “Hari Tanpa Raja.”
 
Gerakan ini, yang didukung oleh koalisi lebih dari 200 organisasi nasional—termasuk American Civil Liberties Union (ACLU), American Federation of Teachers (AFT), dan gerakan Indivisible—bertujuan untuk melawan apa yang digambarkan oleh kelompok-kelompok ini sebagai “kecenderungan monarki” Trump.
 
Para penyelenggara menuduh presiden memperluas kekuasaan federal untuk menekan perbedaan pendapat, menyasar imigran, dan mengikis lembaga-lembaga demokrasi.
 
"Ini adalah sikap untuk demokrasi," kata juru bicara koalisi Hunter Dunn, seraya mencatat bahwa jumlah peserta yang diperkirakan telah berlipat ganda sejak protes serupa pada bulan Juni, yang menarik sekitar lima juta peserta.
 
Demonstrasi ini terjadi di tengah penutupan pemerintah, peningkatan kehadiran federal di kota-kota besar, dan gelombang penggerebekan imigrasi.
 
Perlawanan Damai dan Terorganisir
Dengan menekankan antikekerasan, para penyelenggara protes telah menerapkan pelatihan tatap muka dan daring untuk memastikan keterlibatan damai dengan penegak hukum.
 
Pesan utama gerakan ini adalah bahwa penentangan terhadap Trump tidak terbatas pada kota-kota pesisir tetapi juga bergema di kota-kota kecil dan komunitas pedesaan di seluruh negeri.
 
Aktor Robert De Niro, yang menyuarakan dukungannya terhadap protes tersebut, menyatakan, "Kita telah berperang dalam dua perang dunia untuk mempertahankan demokrasi. Sekarang kita menghadapi calon raja—Raja Donald I—yang mencoba merebutnya."
 
Universitas Menolak Tekanan Politik
Sejalan dengan protes jalanan, kebuntuan sengit meletus antara pemerintahan Trump dan universitas-universitas besar terkait usulan inisiatif pendanaan yang menguntungkan institusi-institusi yang sejalan dengan agenda politik pemerintahan.
 
Universitas-universitas bergengsi—termasuk Brown, MIT, University of Pennsylvania, dan University of Southern California—telah menolak usulan tersebut, mengecamnya sebagai ancaman langsung terhadap kebebasan akademik. Rencana tersebut dilaporkan mencakup ketentuan untuk membatasi kebebasan berbicara, menutup pusat-pusat kampus yang "mengejek pandangan konservatif," dan memberlakukan pembatasan pada mahasiswa internasional.
 
Media universitas menggambarkan inisiatif tersebut sebagai "ujian loyalitas politik terselubung" dan sebuah langkah untuk menerapkan kendali ideologis atas dunia akademis.
 
Bangsa yang Sangat Terpecah-belah
Para analis memperingatkan bahwa krisis saat ini tidak hanya mencerminkan keretakan politik tetapi juga perpecahan sosial yang mendalam yang meluas jauh melampaui Washington.
 
Polarisasi yang semakin besar ini mengadu dua visi yang sangat bertentangan untuk masa depan negara ini.
 
Satu pihak memandang Trump sebagai kekuatan yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan kekuatan bangsa; pihak lain melihatnya sebagai ancaman eksistensial bagi demokrasi Amerika dan pertanda pemerintahan otoriter.
 
Apa pun hasilnya, mobilisasi sipil dan akademis yang meningkat merupakan perlawanan sipil paling signifikan terhadap pemerintahan Trump hingga saat ini.
 
Perjuangan atas "No Kings" bukan lagi sekadar protes—melainkan perjuangan yang menentukan atas identitas sistem politik Amerika.[IT/r]
 
 
 
Comment